Selasa, 26 April 2016

Rumah Adat Kalimantan Barat

Rumah Adat Betang Kalimantan Barat (http://buka-jogja.blogspot.com)

Kalimantan Barat beribu kota Pontianak. Daerah ini berbatasan langsung dengan Sarawak bagian dari negara tetangga yaitu Malaysia. Kalimantan barat disebut sebagai provinsi seribu sungai, karena provinsi ini memiliki banyak sungai kecil dan sungai besar yang digunakan sebagai jalur utama angkutan untuk masuk kepedalaman.

Sama seperti daerah lainnya yang ada di Indonesia, Kalimantan Barat pun memiliki rumah adat Dayak dan rumah adat Melayu.

Rumah Adat Betang


Rumah Adat Betang (http://www.indonesia.travel)

Rumah Betang adalah rumah adat khas Kalimantan yang terdapat di berbagai penjuru Kalimantan.

Suku Dayak hidupnya berkelompok, membentuk koloni dari anggota keluarga mereka. Dengan gaya hidup berkelompok tersebut sangat mempengaruhi bentuk dan besar dari rumah mereka.

Bentuk dan besar rumah Betang ini bervariasi, itu tergantung seberapa besar dan banyak keluarga mereka. Keluarga besar suku Dayak biasanya tinggal dalam satu atap atau satu rumah, oleh karena itu ada rumah Betang yang bisa mempunyai panjang mencapai 150 meter dan lebar hingga 30 meter bahkan ada yang lebih. Umumnya rumah Betang di bangun dalam bentuk panggung dengan ketinggian tiga sampai lima meter dari permukaan tanah. Tujuan dari rumah panggung tersebut untuk mengantisipasi datangnya banjir pada musim penghujan karena sering sungai meluap dan terjadi di daerah-daerah hulu sungai di Kalimantan.

Mereka hidup bersama dan berkelompok dalam satu rumah secara turun menurun. Setiap rumah tangga (keluarga) menempati satu bilik (ruangan) yang di sekat-sekat dari rumah Betang yang besar tersebut, di samping itu pada umumnya suku Dayak juga memiliki rumah-rumah tunggal yang dibangun sementara waktu untuk melakukan aktivitas perladangan, hal ini disebabkan karena jauhnya jarak antara ladang dengan tempat pemukiman penduduk.

Filosofi Rumah Adat Betang

Prinsip hidup suku Dayak tercermin dari bentuk dan model rumah adat suku Dayak ini. Hidup yang berdasarkan kebersamaan dan toleransi membentuk keutuhan di rumah Betang.

Bagian-Bagian Rumah Adat Betang

Bagian depan

Pada bagian depan rumah Betang terdapat sebuah anak tangga sebagai pintu masuk ke dalam rumah. Rumah yang berbentuk panggung dengan ketinggian sekitar tiga sampai lima meter dari permukaan tanah ini sengaja dibangun untuk menghindari banjir dan serangan binatang buas.

Di ujung anak tangga, kita akan menjumpai sebuah bale atau balai yang tidak terlalu luas, fungsinya sebagai tempat untuk menerima tamu maupun untuk mengadakan pertemuan dengan kerabat maupun keluarga yang lain. Masuk ke dalam bangunan, kita akan melihat banyak ruangan yang disekat menjadi beberapa ruangan. Setiap ruangan atau bilik ini ditempati oleh satu keluarga. Jadi, semisal dalam satu rumah betang ada 50 keluarga, berarti jumlah bilik juga ada 50. Itulah kenapa rumah Betang ini bentuknya sangat panjang.

Bagian belakang

Di bagian belakang rumah adat suku Dayak terdapat sebuah ruangan yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan hasil dan alat-alat pertanian. Selain itu, rumah adat suku Dayak juga memiliki kandang hewah ternak yang menyatu di rumah, karena hewan peliharaan termasuk dalam harta kekayaan keluarga seperti babi, sapi dan anjing.

Rumah betang ini mencerminkan perilaku masyarakat Dayak yang mengutamakan persaudaraan dan kebersamaan.

Rumah Adat Betang Radakng


Rumah Adat Betang Radakng, Komplek Perkampungan Budaya, Jalan Sutan Syahrir, Kota Baru, Pontianak, Kalimantan Barat (http://www.skyscrapercity.com)

Rumah Adat Betang Radakng terletak  Komplek Perkampungan Budaya di jalan Sutan Syahrir, Kota Baru, Pontianak, diresmikan oleh Gubernur Kalimantan Barat (Kalbar), Drs. Cornelis, MH pada tanggal 02/07/13.

(http://www.skyscrapercity.com)

Rumah Radakng dalam bahasa Indonesia disebut rumah panjang atau rumah betang yang diambil dari bahasa Dayak Kanayatn. Rumah Radakng ini dibangun sebagai upaya pengembangan dan pelestarian adat istiadat. Rumah Radakng didesain untuk menampung sekitar 600 orang di ruang utama. Sementara itu,area halaman yang luas juga dapat digunakan untuk aktivitas budaya.

(http://www.kaskus.co.id)

Rumah panjang yang panjangnya sekitar 138 meter dan tingginya 7 meter itu dipastikan paling mewah di Kalimantan yang berada di daerah perkotaan. Setelah diresmikan ada serah terima dari Dinas Pekerjaan Umum ke Gubernur dan diserahkan kembali ke Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kalbar.

(http://www.skyscrapercity.com)

Rumah adat Dayak Radakng di Pontianak, Kalimantan Barat (Kalbar), segera dianugerahi rekor dunia, kata pendiri Museum Rekor Indonesia (MURI) Jayasuprana. "Rumah Adat Dayak Radakng ini layak dianugerahi rekor dunia dari MURI," kata Jayasuprana di Jakarta, Rabu (10/7/13).

(http://www.skyscrapercity.com)

Ia menilai, rumah adat Dayak Radakng, layak mendapat rekor dunia karena hingga kini di Indonesia bahkan di dunia belum pernah ada rumah adat yang ukuran bangunannya seperti rumah adat Dayak Radakng. "Dengan ukurannya itu, rumah adat Dayak Radakng bukan hanya terbesar di Indonesia, namun juga terbesar di dunia," katanya.

Rumah Adat Baluk


(http://ace-informasibudaya.blogspot.com)

Baluk merupakan rumah adat suku dayak Bidayuh yang sangat berbeda bentuknya dari rumah adat suku-suku dayak lainnya khususnya yang berada di Kalimantan Barat dan umumya suku-suku dayak yang berada di Pulau Kalimantan.

Rumah Adat Baluk ini terletak di Kecamatan Siding desa Hli Buei dusun Sebujit, jarak dari Ibukota Bengkayang ± 134 KM, dapat ditempuh dengan menggunakan motor air selama ± 2 jam. Rumah Adat ini gunakan oleh masyakat Suku Dayak Bidayuh dalam acara ritual tahunan (nibak’ng) yang dilaksanakan setiap tanggal 15 Juni, setelah usai musim menuai padi dan untuk menghadapi musim penggarapan ladang tahun berikutnya.

Berbentuk bundar, berdiameter kurang lebih 10 meter dengan ketinggian kurang lebih 12 meter dan disanggah sekitar 20 tiang kayu dan beberapa kayu penopang lainnya serta sebatang tiang digunakan sebagai tangga yang menyerupai titian. Ketinggian ini menggambarkan kedudukan atau tempat Kamang Triyuh yang harus dihormati.

Nyobeng adalah kegiatan Ritual Suku Dayak Bidayuh di daerah Sebujit desa Hlibeui Kecamatan Siding telah dilakukan secara turun temurun merupakan upacara adat Hliniau yaitu upacara adat permohonan berkat, sejahtera, kedamaian, ketentraman dan lain-lain namun upacara adat budaya ini hanya diperuntukan bagi kaum pria sedangkan bagi kaum wanita adat budaya tersebut dinamakan Nambok. Kedua jenis adat budaya ini merupakan upacara adat baluk dan adat padi.

Rumah Adat Melayu


Rumah Adat Melayu, Jalan Sutan Syahrir, Kota Baru, Pontianak, Kalimantan Barat (http://www.panoramio.com)

Rumah Adat Melayu Kalimantan Barat ini terletak di jalan Sutan Syahrir, Pontianak. Tiang pertama rumah adat ini ditancapkan pada tanggal 17 Mei 2003. Rumah Adat Melayu Kalbar diresmikan secara langsung oleh Wakil Presiden Jussuf Kalla pada tanggal 9 November 2005. Rumah adat melayu ini merupakan pusat dari kebudayaan melayu yang ada di Kalimantan Barat. Sejak diresmikannya rumah adat melayu tersebut, menjadi satu diantara tempat yang dikunjungi oleh wisatawan lokal maupun mancanegara.

Bangunan Rumah Adat Melayu ini berdiri diatas lahan seluas 1,4 hektar. Bangunan ini terdiri dari Balai Kerja yang berfungsi sebagai Seketariat Pertemuan Balai Rakyat, taman bermain, kios penjualan, Balai Pustaka yang berfungsi sebagai tempat kajian budaya dan perpustakaan. Balai Budaya yaitu ruang pertemuan sanggar tertutup dan ruang pengelola, Panggung Terbuka yang berfungsi sebagai ruang persidangan dan gudang, serta Pesanggarahan yang terdiri dari penginapan, pertemuan, klinik kesehatan dan tempat pelatihan.

(http://pecidasase.blogspot.com)

Rumah adat melayu ini juga berfungsi sebagai tempat musyawarah Majelis Adat Budaya Melayu. Majelis Adat Budaya Melayu, berperan dalam menyelenggarakan even budaya melayu di Kalimantan Barat, satu diantaranya adalah Festival Seni Budaya Melayu yang telah berlangsung lama.

Seni arsitektur dari bangunan rumah adat melayu Kalbar ini dengan atapnya yang diduga mendapat pengaruh dari bentuk atap bangunan jawa. Model atap segitiga dengan tinggi 30 derajat yang berfungsi agar udara panas tidak terperangkap dalam ruangan rumah tersebut. Sementara itu terdapat kolong tinggi dibagian bawah rumah yang digunakan untuk tempat memarkir kendaraan.
- See more at: http://gpswisataindonesia.blogspot.co.id/2014/04/rumah-adat-kalimantan-barat.html#sthash.wk44LEN9.dpuf

Berkenalan Dengan Rumah Adat Gorontalo: Dulohupa

Gorontalo tergolong provinsi muda di Indonesia. Ia berada di urutan ke 32. Sebelumnya, ia masuk ke dalam wilayah Provinsi Sulawesi Utara. Oleh karena beberapa hal yang penting, pada tahun 2000, Gorontalo pun resmi menjadi wilayah mandiri. Jika didasarkan pada sejarah, Gorontalo termasuk kota tua di jazirah Sulawesi. Ia seusia dengan kota seperti Makassar, Manado juga Pare-pare. Di masa kejayaannya, Gorontalo parnah menjadi pusat kebudayaan agama Islam di wilayah Indonesia timur. Hal ini yang menjadikan kebudayaan di Gorontalo begitu kaya. Salah satu bukti kekayaan tersebut terlihat pada rumah tradisionalnya. Pada dasarnya rumah adat Gorontalo ada dua yakniDoluhapa dan juga Bandayo Pomboide. 

Rumah Adat Doluhapa 
Dalam bahasa masyarakat setempat, Doluhapa dikenal dengan nama Hulondohalo. Dalam artian harfiah, Doluhapa sendiri bermakna mufakat. Pemberian nama Doluhapa sebagai rumah adat Gorontalo bukan tanpa sebab. Memang bangunan ini difungsikan sebagai tempat untuk bermusyawarah. Bahkan di masa pemerintahan raja-raja, Doluhapa difungsikan sebagai ruang pengadilan, tempat unutk mengvonis penghianat dengan 3 aturan yakni:
  1. Alur pertahanan atau keamanan, disebut juga Buwatulo Bala.
  2. Alur hukum agama islam, disebut pula Buwatulo Syara.
  3. Alur Hukum adat, disebut pula Buwatulo Adati.

Jika merunut pada kebiasaan masyarakat dewasa ini, fungsi Doluhapa telah bergerser sedikit. Kini, rumah cantik yang satu ini juga digunakan sebagai tempat untuk melaksanakan upacara pernikahan serta upacara adat lainnya.


Secara fisik, rumah adat Doluhapa ini memiliki bentuk seperti rumah panggung lainnya. Ia dilengkapi dengan pilar kayu yang dihias sedemikian rupa. Sebagaimana rumah lainnya, Doluhapa juga dibagi ke dalam beberapa bagian ruamah, antara lain:
  1. Bagian atap yang umumnya terbuat dari jerami berkualitas.
  2. Di bagian dalam rumah, tidak terdapat sekat yang banyak. Jadi, ruangan dalamnya terbilang lowong.
  3. Di setiap rumah Doluhapa umumnya terdapat anjungan yang diperuntukkan bagi raja dan kerabat istana.
  4. Bagian khas dari Doluhapa adalah tangga depannya yang ada di masing-masing sisi, kanan dan kiri. Tangga ini dikenal juga dengan nama Tolitihu.

Rumah Adat Bandayo Pamboide 


Rumah adat Gorontalo yang satu ini bisa dijumpai berdiri gagah di depan rumah dinas Bupati Gorontalo. Dalam artian harfiah, kata Bandayo berarti gedung atau juga bisa diartikan sebagai bangunan. Sementara kata Pomboide atau Po Boide berarti sebagai tempat untuk bermusyawarah. Jadi, meski merupakan dua bangunan berbeda, namun Doluhapa dan Bandayo Pomboide memiliki fungsi yang kurang lebih sama. Dahulu, Bandayo Pomboide ini digunakan sebagai tempat pelaksanaan pagelaran budaya khas Gorontalo. Berbeda dari Doluhapa, bagian dalam si Bandayo Pomboide ini memiliki banyak sekat sehingga ada beragam ruangan dengan fungsi yang juga beragam.

Jika dicermati secara keseluruhan, arsitektur rumah adat Gorontalo ini (baik rumah adat Doluhapa dan juga Bandayo Pomboide) banyak dipengaruhi kebudayaan Islam yang memang tumbuh dan mengakar kuat di wilayah Gorontalo dahulu kala.
Rumah Adat Lampung
Rumah Adat Lampung, JAJAR INTAN Oleh : Syamsurrizal Mukhtar

Rumah Adat Lampung

Harianlampung.co.id – Rumah Adat merupakan suatu simbol untuk suatu budaya yang terdahulu secara turun temurun diwariskan oleh setiap suku, dengan desain dan disesuaikan dengan kondisi alam pada masanya dibangun dengan sedemikian rupa untu di gunakan dan dimanfaatkan sesaui kebutuhan saat itu.
Tentunya Rumah Adat memiliki sejarah tersendiri, dan memiliki arti dalam setiap simbol simbol yang dibangun, sepertihalnya kita membangun sebuah rumah, pasti kita akan mebuat rumah dengan memperhitungkan apa yang kita bangun, dari segi atap, pondasi hingga lantai, untuk Rumah Adat Lampung sendiri mari kita bahas.
Oleh : Novan Saliwa / saliwanovanadiputra.blogspot.com
Rumah pribumi Lampung bernama Lamban / Nuwo. Bentuk bangunan dimaksud berdasarkan keasliannya mempunyai ciri-ciri fisik berbentuk panggung bertiang yang bahan bangunannya sebagian besar terbuat dari kayu. Layaknya sebuah bangunan, ornamen dan bentuk bangunan Lamban / Nuwo bagi masyarakat Lampung disesuaikan dengan kedudukan seseorang didalam adat, seperti dalam adat budaya Lampung Sekala Brak terdapat bangunan terkhusus bagi pimpinan adat yang disebut punyimbang adat lazim juga disebut Sultan / Raja adat. Bangunan terkhusus untuk Raja Adat / Sai Batin itu disebut Lamban Gedung atau Gedung Dalom.
Fungsi ” Gedung Dalom / Lamban Gedung ” adalah sebagai central dari detak jantung ghiroh adat, yakni sebagai pusat bermulanya tatanan adat tradisi yang kemudian dipakai dan diwujudkan dalam tradisi masyarakat, seperti halnya tatanan semenjak kelahiran, keseharian, hingga kematian. Diumpamakan seperti tubuh manusia maka Lamban Gedung adalah jantung dan Saibatin Raja Adat sebagai empunya diumpamakan sebagai jasad, sedangkan ruh adat adalah jamma/jelma-nya Saibatin atau disebut masyarakat adat. Piramida atau segitiga sama sisi itulah yang membuat marwah adat mesunar atau senantiasa bersinar.
Oleh karena pentingnya Adat Budaya maka Lamban Gedung tidak hanya sekedar simbol adat atau hanya sebagai tempat bersemayamnya pusaka pusaka adat, akan tetapi juga sebagai muara penggerak adat itu sendiri. Dan untuk itulah Lamban Gedung berdiri beserta dengan tatanan atau rukun pedandanan yang melekat padanya.
Namun, Lamban Gedung tak akan bermakna dan berarti lebih tanpa adanya sang Empu yaitu Sai Batin Raja Adat yang didalam dirinya tersandang pucuk tanggung jawab keberlangsungan adat, serta tak pula bisa Sai Batin hanya berdiri sendiri tanpa ruh yang membuatnya mampu berbuat, karena didalam ruh ada wilayah rasa kasih sayang serta tujuan perjuangan adat dipertahankan. Ruh adat itu adalah masyarakat ( Jamma / jelma) nya SaiBatin yang bersinergi dengan semua peran diatas untuk menentukan eksistensi adat budaya dikemudian hari.
Ruh masyarakat adat Lampung itu bertumpu pada empat hal yaitu Keberanian ( Bani ), kemapanan ( Pawar ) , Ilmu Pengetahuan ( Nalom ), dan kebersamaan ( Kemuarian). Empat hal tersebut adalah empat pilar bagi Sai Batin bersama jamma/jelmanya dalam menegakkan kehangguman Gedung Dalom / Lamban Gedung, agar degup jantung itu terus dan senantiasa berirama hingga menjemput takdir Tuhan dihari yang paling kemudian, makna nilai tersebutlah yang sering diwujudkan dalam simbol simbol empat pada ornamen ataupun tiang tiang rumah adat Lampung.
Ukiran Asli dan Kuno, Satu Dari Tiang 4 Penjuru Lamban Gedung
Ukiran Asli dan Kuno, Satu Dari Tiang 4 Penjuru Lamban Gedung
Simbol " Empat" pada Ornamen " SUNGGAD " berbentuk seperti tumbuhan Pakis  yang melekat di Gedung Dalom
Simbol ” Empat” pada Ornamen ” SUNGGAD ” berbentuk seperti tumbuhan Pakis yang melekat di Gedung Dalom
Kekhasan dari Gedung Dalom / Lamban Gedung adalah bagian ujung Bubungan rumah yang memusat kesatu titik tengah terbuat dari kayu dibulatkan (buttor) diatasnya satu kayu bulat pula berlapis tembaga, kemudian ada dua tingkatan (sakku) dari tembaga atau kuningan, dan yang teratas sekali perhiasan dari batu menurut bagaimana kesukaan. Nilai transendental sebuah lamban gedung ( rumah adat ) yang menjadi pusat nilai dan norma bagi masyarakat adat saibatin dicerminkan dari atap rumah yg memusat keatas, sebab fungsi dari rumah Raja Adat adalah tempat berhimpunnya para “jelma balak” petinggi petinggi dalam struktur kerajaan dalam bermusyawarah memutuskan persoalan adat yang biasa disebut Himpun Paksi / Himpun Agung.
Secara berurutan memasuki Lamban Gedung dapat dijumpai beberapa bagian seperti Jan atau tangga masuk, selanjutnya menaiki tangga dimuka rumah melalui beranda kecil disebut “usud” untuk menuju keberanda yang sebenarnya atau disebut “Lepau” yaitu ruang terbuka pada bagian atas depan rumah. Lalu setelah memasuki Pintu Utama maka dijumpai bagian dalam Lamban Gedung, terdapat satu ruang besar sebagai tempat Sai Batin beristirahat disebut Bilik Kebik. Tak ada yang masuk ke ruang itu kecuali Sai Batin dan Permaisuri atau kerabat yang diizinkan oleh Sai Batin. Di dalam ruangan itu, terdapat pula sejumlah senjata pusaka yang hanya Sai Batin atau Sultan yang berani memindah atau membukanya. Di depan pintu Bilik Kebik terdapat pelaminan atau singgasana yang disebut margasana. Alas duduk Sai Batin terdiri atas kasur berlapis-lapis, taber atau kain hiasan dinding, dan langit-langit yang terbuat dari kain beludru warna warni dan manik-manik yang disebut Leluhor Kejuntai. Dari dalam singgasana itulah Sai Batin memimpin sidang (hippun paksi) menghadap seluruh raja suku/ jukkuan duduk bersila. Hanya Sai Batin dan Raja Jukkuan yang boleh duduk di tempat ini pada saat hippun paksi.
Bagian dalam Istana Basa Pagaruyung, Menurut Tambo Empat Umpu Paksi Kerajaan Paksi Pak Sekala Brak  memiliki kaitan dengan Kerajaan Pagaruyung Sumatra Barat.
Bagian dalam Istana Basa Pagaruyung,
Menurut Tambo Empat Umpu Paksi Kerajaan Paksi Pak Sekala Brak
memiliki kaitan dengan Kerajaan Pagaruyung Sumatra Barat.
Lantai Lamban Gedung terdapat dua tingkat / trap, seperti halnya Istana Basa Pagaruyung yang lantainya bertingkat pula. Pada bagian depan yang disebut “Lapang Luar” yaitu ruangan setelah pintu masuk letak lantainya lebih rendah sekitar sejengkal dari ruang margasana, sebagaimana bisa kita temukan disalah satu Lamban Gedung / Gedung Dalom yang masih lestari bersama adat tradisinya yakni Gedung Dalom Kepaksian Pernong. Dan didalam acara tradisi, lantai rumah ini tanpa kursi, kecuali saibatin yang duduk diatas susunan kasur berhias maka seluruh tamu duduk beralaskan karpet atau tikar yg terbuat dari rotan ( resi ). Begitupun apabila mereka mendapat jamuan makan dari Sai Batin, maka seluruhanya Mejong Sila.
Susunan Lamban Gedung selanjutnya yang juga biasa terdapat pada rumah rumah orang lampung adalah Lapang Lom sebagai ruang keluarga dan Tebelayar sebutan untuk kamar kedua. Serudu adalah ruangan bagian belakang yang diperuntukkan bagi ibu ibu, sementara Panggar adalah bagian loteng rumah panggung yang biasanya dimanfaatkan sebagai tempat penyimpanan barang barang dan piranti untuk keperluan adat. Dapor [dapur], dan yang paling belakang adalah Garang, merupakan tempat untuk mencuci perabotan dapur. Bagian bawah rumah panggung disebut dengan Bah Lamban yang sengaja menjadi ruangan terbuka. Dan pada bagian belakang yang terpisah dari bangunan rumah utama biasanya terdapat Balai, yaitu sebuah bangunan lumbung tempat penyimpanan padi.
Sebagai bagian dari kekhasan Lamban Gedung terdapat pula bermacam ukiran ornamen tumbuh tumbuhan dan juga hewan seperti ukiran ” Luday” atau lazimnya seperti naga di bagian tangga masuk Gedung Dalom Kepaksian Pernong Kerajaan Paksi Pak Sekala Brak. Luday merupakan hewan satu satunya yang terdapat disungai terdalam, oleh karena nilai khususan itulah nenek moyang dahulu menorehkan pesan pesan simbolis kedalam ukiran luday pada sebuah batu maupun rumah, ukiran naga Lampung itu juga terdapat pada batu penghias makam keramat Raja Selalau Sangun ( Sang Hyang) Guru, di komplek makam raja raja Kepaksian Pernong Tambak Bata Batu Brak.
Untuk Dokumentasi Rumah Adat Lampung sendiri, berikut dokumentasinya..
Gedung Dalom / Rumah Adat Lampung - Sekala Brak
Gedung Dalom / Rumah Adat Lampung – Sekala Brak
Bangunan Anjungan Lampung TMII sebelum renovasi
Bangunan Anjungan Lampung TMII sebelum renovasi
Bangunan Anjungan Lampung TMII sebelum renovasi
Bangunan Anjungan Lampung TMII sebelum renovasi
Rumah Adat Si Nyata / Buay Benyata
Rumah Adat Si Nyata / Buay Benyata
Rumah milik Mayarakat Adat di Buay Benyata
Rumah milik Mayarakat Adat di Buay Benyata
SINGGASANA / Margasana
SINGGASANA / Margasana
LEPAU / Beranda Luar
LEPAU / Beranda Luar
Tiang Penyangga " Usud ", terdapat Ukiran " Luday" atau Naga Lampung
Tiang Penyangga ” Usud “, terdapat Ukiran ” Luday” atau Naga Lampung
JAN / Tangga menuju " Usud" beranda kecil sebelum beranda sesungguhnya

MENENGOK DESA WISATA ADAT USING KEMIREN

Sanggar Genjah Arum, desa Kemiren, Glagah, Banyuwangi.
Wisata Banyuwangi - Salah satu desa adat di Banyuwangi adalah Kemiren. Desa di Kecamatan Glagah, Banyuwangi, ini adat dan budaya Usingn/Osingya masih kental dirasakan. Dan salah satu magnet di desa tersebut adalah keberadaanSanggar Genjah Arum. Sanggar yang dikemas apik dan didesain tradisional ini bak sebuah museum Using, suku asli di Banyuwangi. Pengunjung serasa dibawa menikmati suasana Banyuwangi tempo dulu.

Sanggar Genjah Arum di Desa Kemiren memang milik pribadi seorang pengusaha perkebunan bernama Setiawan Subekti atau biasa dipanggil Iwan. Ahli kopi kelas internasional ini memang sangat peduli dengan pelestarian adat dan Using. Nama Sanggar Genjah Arum diambil dari nama beras yang berkualitas bagus.

Tatanan rumah dan benda-benda kuno di sanggar Genjah Arum seperti menceritakan Desa Kemiren pada masa 50 tahun lalu. Di sana terdapat 7 buah rumah adat Osing, yang ditata tak beraturan di lahan kurang lebih 7000 meter persegi. Rumah kuno tersebut sebagian sudah berusia hampir 100 tahunan yang dikumpulkan oleh Iwan. Bahkan ada rumah yang usianya lebih dari 100 tahun yang ukurannya sangat besar, yang biasanya digunakan untuk berkumpul dan pertunjukan kesenian di sanggar tersebut.

Selain itu, ornamen kuno seperti bebatuan fosil, mesin ketik dan telepon kuno serta bermacam barang berusia lebih dari 50 tahun terpajang di masing-masing rumah kayu khas Using yang berada di sanggar itu.
Sanggar genjah arum, Kemiren, Banyuwangi.

Ada 4 macam bentuk khas adat rumah Banyuwangi, yakni CrocoganTikel/baresanTikelbalung, danSerangan. Keempat jenis rumah itu ada di Sanggar Genjah Arum, Kemiren. Dan boleh percaya atau tidak, rumah-rumah tersebut tahan gempa. Struktur utama rumah Osing berupa susunan rangka 4 tiang (saka) kayu dengan sistem tanding tanpa paku, tetapi menggunakan paju (pasak pipih).
Setiap jenis atap rumah adat Osing itu mengandung makna. Atap Crocogan terdiri dua sisi, melambangkan bersatunya laki-laki dan perempuan dalam pernikahan, Tikel Balung terdiri tiga sisi, melambangkan lika-liku kehidupan berumah tangga, dan Baresan terdiri 4 sisi, melambangkan rumah tangga yang sudah beres, atau berjalan baik.

Perbedaan bentuk atap rumah adat Osing tersebut sekaligus menandai status sosial penghuninya. Rumah yang beratap Tikel Balung melambangkan bahwa penghuninya sudah mantap. Rumah Crocogan melambangkan penghuninya adalah keluarga mudah dan atau keluarga yang ekonominya relatif rendah, sedangkan rumah Baresan melambangkan pemiliknya sudah mapan, secara materi berada di bawah rumah bentuk Tikel Balung.

Bentuk bangunan rumah Osing itu sendiri dibagi dalam tiga ruang, yakni Mbyale (balai/serambi) yang biasa digunakan untuk menjamu tamu dan ngobrol santai dengan tetangga dekat.

Kemudian Jerumah (ruang tengah dan kamar) adalah bagian rumah yang biasa digunakan sebagi tempat istirahat dan bercengkrama bersama keluarga, dan Pawon (dapur) yang biasa digunakan ibu-ibu untuk memasak.
Sedangkan motif ukiran yang umumnya ada di bagian rumah atau perabotan orang Osing ada beberapa motif. Ada motif Srengenge (matahari) yang melambangkan harapan akan masa depan rumah tangga yang cerah,Bunga Pare melambangkan perjalanan kehidupan rumah tangga yang menjalar, Kawung yang bermakna pasangan yang sudah menikah tidak boleh mencari lagi yang lain dan motif Selimpet yaitu garis-garis berpola yang saling berhubungan atau tidak ada ujung pangkal, seperti belas kasih yang tak berujung.
Kini Sanggar Genjah Arum menjadi jujugan wisatawan yang ingin mengenal dari dekat rumah khas Using. Bupati Banyuwangi, Azwar Anas sering mengajak dan menjamu tamu kehormatannya di Sanggar tersebut untuk menikmati seni budaya dan kuliner khas suku Using.
Bagi pengunjung Sanggar Genjah Arum, ada lima suguhan Istimewa yang bisa dinikmati, yaitu :

Angklung Paglak
Paglak di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi.
Paglak adalah gubuk kecil sederhana tanpa dinding yang terbuat dari bambu dan beratap ijuk (anyaman daun kelapa), yang dibangun di sawah atau di dekat pemukiman. Paglak umumnya berukuran hanya 2x3 meter dan dibangun sekitar 10 meter di atas tanah, ditopang empat bumbu utuh sebagai kaki penyangga. Jadi, jika seseorang ingin masuk ke dalam gubuk, ia harus memanjat untuk mencapainya.

Awalnya, fungsi bangunan ini sebagai tempat untuk menjaga padi dari burung. Petani biasanya menjaga sawah sembari bermain alat musik angklung dalam paglak tersebut. Karena itu, seni ini disebut angklung paglak. Angklung paglak juga dimainkan pada saat panen padi di Desa Kemiren. Versi lain, konon musik tersebut dulunya diciptakan untuk mengejek para penjajah kolonial. Untuk memainkan musik tersebut dibutuhkan keberanian dan konsentrasi ekstra karena bertempat di ketinggian. Orang-orang Belanda yang ditantang untuk memainkan musik di ketinggian,  tidak berani dan mengakui bahwa orang pribumi jauh lebih berani daripada mereka.

Angklung Paglak biasanya dimainkan 4 pemian laki-laki, yang terdiri dari 2 pemain angklung dan 2 orang pemukul kendang. Seperti namanya, kesenian ini harus dimainkan di atas ketinggian dari bilik Paglak. Meski begitu tidak ada perasaan takut bagi seniman saat tampil. Justru sebaliknya, bermain dari ketinggian membuat mereka semakin asyik memainkan alat musik yang diiringi canda dan senyuman. Ditambah lagi dengan ketinggian paglak, ketika angin bertiup kencang, maka panggung semakin bergoyang. Bukannya takut, hal ini justru membuat pemain angklung semakin bersemangat.

Angklung Paglak khas Banyuwangi.

Angklung Paglak haruslah memainkan lagu-lagu kuno yang diyakini mengandung nilai spiritual dan petuah kehidupan. Seperti lagu Jaran Dawuk, Gunung Sari, Lemar limir, Gondorio, Kembang jeruk dan masih banyak lagi. Uniknya semua lagu ini tanpa lirik (semacam Mozart) dan siapa penciptanya masih misterius. Yang pasti lagu kuno tersebut dipertahankan sebagai ciri khas kesenian Angklung Paglak.
Paglak pun mengalami transformasi dari yang dulu didirikan di sawah untuk mengusir burung berubah menjadi aksesori budaya di halaman rumah atau perkantoran. Paglak di Sanggar Genjah Arum milik Setiawan Subekti itu berdiri di balik pintu gerbang barat. Tingginya sekitar 15 meter. Angklung paglak pun menjadi kesenian khas Banyuwangi yang disuguhkan untuk para tamu atau turis yang berkunjung ke Sanggar Genjah Arum.
Tarian Barong Kemiren
Barong desa Kemiren, Banyuwangi.
Tarian Barong Kemiren ini disuguhkan sebagai penyambut para tamu yang akan hadir. Sebelum memasuki sanggar, para tamu akan diarak bersama penari dan pemain musik Barong memasuki gerbang Sanggar yang terletak paling ujung Desa Kemiren tersebut. Kemudian di dalam halaman sanggar tersebut, Barong yang sudah berusia hampir 100 tahun itu menampilkan atraksi tarian.

Barong memiliki arti bareng (bersama), untuk masuk ke dalam tempat yang kita anggap memiliki makna. Wisatawan tidak hanya melihat atraksinya, namun filosofi yang terkandung dalam tarian Barong yang artinya kebersamaan. Atraksi Barong Kemiren ini berlangsung selama 15 menit. Barong meliuk-liuk menyelaraskan musik yang dibunyikan. Kemudian adanya penari "pitik-pitikan" menambah keindahan tarian Barong tersebut.

Othek (Musik Lesung)
Musik Gedhogan ala desa adat Kemiren, Banyuwangi.
Musik Gedhogan ala Desa Kemiren.
Selain menikmati Tari Barong Kemiren, para pengunjung juga akan disuguhi penampilan "girlband" khas Kemiren. Mereka bukanlah perempuan-perempuan cantik, melainkan wanita-wanita yang sudah uzur, memainkan alu dan lesung (kayu tempat menumbuk padi). Mereka bergantian memukul lesung-lesung dihadapan mereka. Musik yang dimainkan mbah-mbah ini disebut Gedhogan. Biasanya diiringi oleh pemain biola tradisional dan angklung paglak. Kesenian ini merupakan warisan budaya asli Osing, Suku asli Banyuwangi.

Pada saat masa panen tiba, para petani menggunakan ani-anak diiringi tabuhan angklung dan gendang yang dimainkan di pematang-pematang sawah. Saat menumbuk pada, para perempuan memainkan tradisi Gedhogan, yaitu memukul-mukul lesung dan alu sehingga menimbulkan bunyi ritmis yang enak didengar. Dari sinilah tradisi Ghedhogan bermula.


Tarian Gandrung yang Mempesona

Tari Gandrung desa adat Kemiren, Banyuwangi.
Tari Gandrung sebenarnya sebagai tari pembuka dalam menyambut tamu. Tapi di Sanggar Genjah Arum, tarian ini disuguhkan ketika tamu sudah bersantai dan menikmati suasana Banyuwangi tempo dulu.

Para penari yang biasanya berjumlah 3 orang itu, menarikan sejumlah babakan (bagian) tarian gandrung Banyuwangi. Setelah itu, penari membawa selendang untuk diberikan kepada tamu yang menonton disana.

Bagi yang terpilih dan menerima selendang dari gandrung, diwajibkan untuk menari bersama gandrung. Hal ini merupakan bagian dari tarian Gandrung yang disebut "Paju Gandrung". Secara silih berganti, para gandrung tersebut mengajak para tamu untuk ikut melantai.





Nikmatnya Kopai Using
Jangan menyesal pernah ke Desa Kemiren tapi tidak mencicipi kopinya. Sebab Kopi olahan masyarakat Desa Adat Using Kemiren Kecamatan Glagah, Banyuwangi, cukup dikenal karena cita rasanya yang khas. Kopi yang diproduksi Paguyuban Tholik Kemiren (Pathok), ini memiliki cara tersendiri dalam proses pembuatannya.
Tak hanya mencicipi, pengunjung dipersilahkan praktek secara langsung. Mulai dari proses menyangrai, menumbuk biji kopi yang matang, menyaring bubuk kopi hingga praktek cara penyajian kopi yang benar sehingga menghasilkan kopi yang bercita rasa tinggi.

Rasa kopi yang diolah secara benar ini, dipastikan akan menggetarkan lidah dan ruang mulut anda. Karakter 'Kopai Using' akan terasa. Anda bisa memesan kopi olahan seperti house blend, kopi murni Arabica atau pun Robusta, baik yang expresso maupun regular, semua dijamin menggetarkan lidah Anda.

Sambil menikmati penampilan seni budaya di Sanggar Genjah Arum, secangkir kopi dan jajanan khas Banyuwangi seperti tape buntut, bolu kuwuk dan bermacam gorengan, menambah nikmatnya menikmati suasana di Sanggar Genjah Arum.
Menikmati kopi Osing di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi
Pengunjung bisa duduk-duduk dan menyeruput kopi di balai rumah 
RAHASIA KOPI USING
Di Desa Kemiren, menyangrai kopi sesuai standart internasional telah diperkenalkan dan dibudayakan oleh Tester kopi internasional, Setiawan Subekti, yang menjadi mentor warga kemiren untuk belajar mengolah kopi menjadi sajian minuman yang istimewa. Karena itu tidak heran sajian kopi di Desa Kemiren memiliki cita rasa tinggi.

Untuk mendapatkan sajian kopi yang berkualitas kuncinya terletak pada pemilihan biji kopi pilihan dan proses pengolahan yang benar.
Kopi osing khas desa Kemiren, Banyuwangi.
Proses pengolahan kopi Osing.
Yang pertama, memilih biji kopi robusta yang baik. Biji kopi yang dipilih harus memiliki kadar air tidak lebih dari 15 persen. Biji kopi asal Banyuwangi, khususnya kopi yang dihasilkan dari perkebunan yang berada di sisi timur dan sisi barat Gunung Ijen, adalah salah satu yang terbaik di dunia. Kopi yang dihasilkan antara sisi barat dan timur Gunung Ijen memiliki cita rasa yang berbeda. Perkebunan yang menghadap ke Timur mendapat sinar matahari yang lebih banyak, dan menghadap ke laut, sehingga kadar garamnya tinggi. Sebaliknya perkebunan di sisi barat dipengaruhi oleh angin gunung. Namun keduanya menghasilkan kopi yang sama enaknya.

Usai memilah, biji kopi selanjutnya disangrai diatas loyang yang terbuat dari tanah liat. Loyang tanah liat dipilih karena mampu menyimpan suhu panas yang stabil saat dipakai untuk menyangrai biji kopi.

Suhu yang stabil diperlukan saat proses menyangrai. Karena, biji kopi akan matang secara merata dan sempurna. Selain itu, proses dan teknik menyangrai menjadi faktor penting untuk menciptakan citarasa kopi itu sendiri. Sebab sebaik apapun kualitas biji kopi jika cara menyangrainya salah maka kopi akan tidak memiliki citarasa yang bagus. Biji kopi yang disangrai tidak harus hitam, karena itu artinya biji kopinya sudah gosong dan rasanya tidak enak. Menyangrai kopi cukup 20 menit saja. 

Biji kopi yang matang selanjutnya dipindahkan ke nyiru dan segera diangin-anginkan. Itu perlu dilakukan agar kopi cepat dingin.

Sebelum ditumbuk, biji kopi terlebih dahulu disimpan selama 3 hari, atau minimal 1x24 jam. Dengan tujuan mengurangi kandungan getah di biji kopi. Usai ditumbuk hingga hancur, selanjutnya disaring (diayak) untuk menghasilkan bubuk kopi yang halus.

Kopi Jaran Goyang
Kopi Kemiren yang diberi nama Kopi Jaran Goyang ini juga memiliki komposisi dalam penyajiannya. 1 Cangkir kopi, cukup 1 sendok makan bubuk kopi. Air yang digunakan untuk menyeduh dianjurkan air mendidih yang didiamkan sekitar setengah menit.

Selanjutnya air dituang cukup separuh cangkir dan diaduk pelan sembari dituangkan kembali air yang sama hingga hampir penuh.

Sebelum meminum, hidung harus didekatkan pada bibir cangkir. Setelah aroma kopinya merasuk ke hidung, baru diseruput. "Harus sampai bunyi sruuuut. Sebelum ditelan, tahan dulu di mulut sampai rasanya menempel di lidah," papar Iwan.